LAPORAN TUTORIAL

BLOK KARDIOVASKULER

SKENARIO 3

 

 

 

 

ASPEK KLINIK PADA HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun oleh :

FEBRIAN F N

G0007071

KELOMPOK 7

TUTOR :

 

 

Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret

2009


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Dengan kemajuan tehnologi di abad ini, kematian yang disebabkan penyakit infeksi berkurang sedang penyakit system kardiovaskuler terus meningkat. Berkurangnya penyakit infeksi ini kiranya disebabkan beberapa faktor yaitu :

– Perbaikan sosioekonomi masyarakat.

– Pemberantasan kuman penyakit yang efektif disertai dengan tindakan pencegahan penularan penyakit yang lebih baik.

– Diketemukannya obat-obat antibiotika yang baru.

– Meningkatnya penyuluhan kesehatan dan majunya promosi

pengetahuan kesehatan.

Pada saat ini di negara yang maju, penyakit sistem kardisvaskuler merupakan penyebab kematian yang paling utama (1). Penyakit sistem kardiovaskuler yang pada saat ini merupakan masalah di masyarakat yang perlu segera ditangani adalah penyakit tekanan darah tinggi. Mengingat prevalensinya cukup tinggi dan pada umumnya sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah tinggi, kadang-kadang tekanan darah tinggi ini diketemukan secara kebetulan waktu penderita datang

ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain: Di Indonesia prevalensi tekanan darah tinggi cukup tinggi, meskipun tidak setinggi di negara-negara yang sudah maju, yaitu sekitar 10% (2,3,4): Sedangkan WHO memperkirakan bahwa 20% dari umat manusia yang berusia setengah baya menderita tekanan darah tinggi (5) Bila penyakit tekanan darah tinggi tidak diobati, tekanan darah semakin meningkat dengan bertambahnya umur penderita, dan tekanan darah yang terus meningkat dapat memberikan komplikasi pada jantung, ginjal dan otak penderita. Oleh sebab itu penyakit tekanan darah tinggi harus segera ditanggulangi. Usaha menanggulangi penyakit tekanan darah tinggi ini cukup serius baik di dalam maupun di luar negeri.

 

 

 

 

 

B.     Analisis Masalah

Laki-laki 54 tahun.

Sesak nafas saat aktifitas ringan.

Batuk berdahak merah muda.

Berdebar-debar, sukar tidur, kencing berkurang.

Pernah menderita penyakit yang sama.

Kumat-kumatan sejak 1 bulan.

 

Pemeriksaan fisik : tekanan darah 180/100 mmHg, heart rate 120x/menit, respiratory rate 32x/menit, suhu badan 36,50 C, JVP tidak meningkat.

Inspeksi : ictus kordis bergeser ke lateral bawah.

Palpasi : iktus kordus di SIC  VI 2 cm lateral linea medioclavicularis.

Perkusi : Batas jantung kanan di SIC V parasternal kanan.

Auskultasi : Bunyi jantung 1 meningkat, bunyi jantung 2 normal, bising pansistolik di apeks dan menjalar ke lateral, irama gallop positif. Paru : vesikuler, ronkhi basal halus.

Pemeriksaan abdomen : tidak ada hepatomegali dan ascites.

Pemeriksaan laboratorium : Hb 14 g/dL, serum ureum: 65, serum kreatinin: 1.4.

EKG : LVH, LAH.

Foto polos : CTR 0,60, apeks ke lateral bawah, kardiomegali, pinggang jantung menonjol.

Analisis gas darah: asidosis metabolik terkompensasi.

Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :

a)      Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?

b)      Apa diagnosis penyakit diatas ?

c)      Bagaimana hubungan antara faktor resiko dengan keluhannya saat ini?

d)     Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?

e)      Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?

 

C.    Tujuan Penulisan

a)      Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada hipertensi dan gagal jantung.

b)     Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada hipertensi dan gagal jantung.

c)      Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

d)     Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem kardiovaskuler pada kasus di atas.

 

D.    Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :

a.    membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;

b.   mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;

c.    menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem kardiovaskuler; dan

d.   menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada sistem kardiovaskuler.

 


 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

A.  Tekanan Darah

            Tekanan darah merupakan gaya utama yang mendorong darah ke sel atau jaringan. Tekanan darah ini harus diatur secara ketat dikarenakan dua alasan. Pertama, tekanan tersebut harus cukup tinggi untuk menghasilkan gaya dorong yang cukup agar organ otak atau jaringan lain menerima aliran darah yang adekuat. Kedua, tekanan ini tidak boleh terlalu tinggi, sehingga menimbulkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko kerusakan pembuluh darah serta kemungkinan rupturnya pembuluh-pembuluh halus.5

            Ada dua faktor penentu utama tekanan darah yaitu curah jantung (cardiac output, CO) dan resistensi perifer total. Curah jantung merupakan volume darah yang dipompakan oleh tiap-tiap ventrikel per menit. Curah jantung ini dipengaruhi kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh adanya perangsangan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis. Perangsangan simpatis akan menyebabkan peningkatan kecepatan denyut jantung  dan kekuatan kontraktil sel otot jantung. Volume sekuncup adalah volume darah yang dipompa per denyut jantung yang didapatkan dari pengurangan volume diastolik akhir (EDV) dengan volume sistolik akhir (ESV). Volume sekuncup ini terutama dipengaruhi oleh besarnya aliran balik vena ke jantung. Volume sekuncup akan meningkat jika terjadi pengisian ventrikel (EDV) juga meningkat. Selain itu, volume sekuncup juga dipengaruhi oleh adanya aktivitas simpatis yang akan meningkatkan kontraktilitas jantung yang mengacu kepada kekuatan kontraksi pada setiap volume diastolik akhir. Selain dipengaruhi oleh aktivitas simpatis, aliran balik vena juga dipengaruhi oleh aktivitas pernapasan dan otot rangka, volume darah, dan katup vena.5

               Resistensi perifer merupakan tahanan pembuluh darah (terutama arteriol) terhadap aliran darah. Resistensi ini terutama dipengaruhi oleh jari-jari pembuluh darah dan viskositas darah. Secara biofisika, bahwa resistensi perifer dapat dijabarkan dalam sebuah rumus menurut Hukum Pousteille5 yaitu:

R =  8 L

         Π r4

Keterangan: R = resistensi perifer

                    ῃ = viskositas darah

                   L =  panjang pembuluh

                   r   = jari-jari pembuluh

 

Dari persamaan di atas terdapat hubungan-hubungan dimana apabila viskositas darah meningkat akan menyebabkan peningkatan resistensi dan apabila jari-jari pembuluh semakin kecil maka resistensi besar. Panjang pembuluh pada persamaan di atas tidak mempunyai pengaruh yang besar karena panjang pembuluh darah di dalam tubuh relatif konstan.

            Faktor-faktor yang mempengaruhi jari-jari pembuluh darah yaitu faktor intrinsik (berupa perubahan metabolik lokal dan pengeluaran histamin) dan faktor ekstrinsik (berupa kontrol saraf dan hormon). Perubahan metabolik yang dapat menyebabkan relakasasi otot polos arteriol (vasodilatasi) adalah pengingkatan CO2 dan asam serta osmolaritas, penurunan O2, pengeluaran prostaglandin dan adenosin. Histamin merupakan mediator kimiawi lokal yang menyebabkan relaksasi otot polos arteriol sehingga terjadi vasodilatasi pada daerah lokal tersebut. Peningkatan aktivitas simpatis meimbulkan vasokontriksi arteriol dimana serat-serat saraf ini mempersarafi otot polos arteriol di seluruh tubuh, kecuali di otak. Hormon yang berpengaruh terhadap jari-jari pembuluh adalah norepinefrin dan epinefrin yang dihasilkan oleh medulla adrenal yang dirangsang oleh adanya perangsangan simpatis. Selain itu, hormon angiotensin II dan vasopressin menyebabkan adanya retensi garam dan air dan vasokontriksi pembuluh darah.3

 

B.        HIPERTENSI

     Hipertensi adalah tekanan arteri yang tinggi dan abnormal pada sirkulasi sistemik dengan nilai sistole minimal 140 dan diastole 90. Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu : 1. primer : hipertensi yang belum jelas penyebabnya; 2. sekunder : hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Sebagian besar pasien hipertensi termasuk kategori primer (90%).  Berikut kriteria hipertensi.6

Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Normal

< 130

< 85

Normal Tinggi

130 – 139

85 – 89

Hipertensi

 

 

Stadium 1

140 – 159

90 – 99

Stadium 2

160 – 179

100 – 109

Stadium 3

180 – 209

110 – 119

Stadium 4

> 210

> 120

 

 

 

PATOFISIOLOGI

     Berdasarkan hukun ohm tekanan darah arteri = Curah jantung (CO) x Resistensi Perifer Total (TPR). Maka jika ada peningkatan pada CO dan TPR, tekanan arteri akan meningkat. Contoh peningkatan CO adalah pada perangsangan jantung yang berlebihan oleh katekolamin, sedangkan peningkatan TPR pada perangsangan angiotensin II pada arteri.3,4

 

ANAMNESIS7,4

 

1.      Ditemukan tanda-tanda hipertensi : kaku tengkuk, kepala berat, sakit kepala.

2.      Ada kelainan organ : mata kabur, sesak nafas, bengkak muka.

3.      Pola makan

4.      Riwayat keluarga.

5.      Sosial ekonomi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM7,4

 

1.      Renal fungsi tes : BUN, kreatinin dan asam urat.

2.      ECG dan foto thorak

 

PENATALAKSANAAN 7

1.      Bed rest.

2.      Diet tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam.

3.      Medika mentosa :

          Tahap 1 : Diuretik (Lasik Injeksi, Furosemid tablet)

          Tahap 2 : Diuretik + Beta bloker (propanolol, maintate)

          Tahap 3 : Diuretik + Ca Antagonis (Nifedipin, Verapamil, Diltiazem)

          Untuk terapi tambahn bisa juga diberikan adrenolitik sentral dan vasodilator.

4.      Terapi komplikasi

          apopleksi cerebri

          retinopati hipertensi

          edema paru akut

          gangguan fungsi ginjal

5.      Bila desertai faktor emosional diberi minor transquilizer.

 

 

KRISIS HIPERTENSI 7

     Tensi > 200/100 mmHg disertai ancaman komplikasi target organ. Merupakan keadaan emergensi sehingga harus diturunkan dalam waktu 1 jam. Biasanya diberikan nifedipin sublingual dan  klonidin injeksi.

 

C.        GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Gagal jantung kongestif dimaksud adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh, disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.1

ETIOLOGI3
1.Kelainan otot jantung
2.Ateriosklerosis koroner
3.Hipertensi sistemik atau pulmonal
4.Peradangan atau degeneratif
5.Faktor sistemik : tirotoksikosis, hipokisa, anemia, asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit.

PATOFISIOLOGI3
1.Bila curah jantung berkurang sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila gagal maka volume sekuncup akan beradaptasi untuk mempertahankan curah jantung.
2.Pada gagal jantung terjadi kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung sehingga curah jantung normal tidak dapat dipertahankan.

KLASIFIKASI1,2
1.GAGAL JANTUNG KIRI
2.GAGAL JANTUNG KANAN

GAGAL JANTUNG KIRI

1.Gagal jantung kiri disebabkan oleh penyakit jantung
koroner, penyakit katup aorta dan mitral serta hipertensi
2.Gagal jantung kiri berdampak pada :
– Paru
– Ginjal
– Otak

GAGAL JANTUNG KANAN

1.Penyebab gagal jantung kanan harus juga termasuk semua yang dapat menyebabkan gagal jantung kiri, seharusnya stenosis mitral yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru.
2.Gagal jantung kanan dapat berdampak pada :
– Hati
– Ginjal
– Jaringan subkutis
– Otak
– Sistem Aliran aorta

MANIFESTASI KLINIS7
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala jantung kiri diikuti gagal jantung kanan dapat terjadinya di dada karana peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda – tanda gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral

Gagal Jantung Kiri
a. Dispneu
b. Orthopneu
c. Paroksimal Nokturnal Dyspneu
d. Batuk
e. Mudah lelah
f. Gelisah dan cemas

Gagal Jantung Kanan
a. Pitting edema
b. Hepatomegali
c. Anoreksia
d. Nokturia
e. Kelemahan

PEMERIKSAAN DIANOSTIK7
1Pada EKG ditemukan hipertropi ventrikel kiri, kelainan gelombang ST dan T
2.Dari foto torax terdapat pembesaran jantung dan bendungan paru.
3.Pada ekhokardiografi terlihat pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan bergerak katup mitral saat diastolik.
4.Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)

PENATALAKSANAAN7
Diuretik dapat menurunkan tekanan dan volume pulmonal sehingga gejala akan berkurang. Mengingat banyak penderita tergantung pada meningkatnya tekanan pengisian untuk mempertahankan isi sekuncup yang adekwat maka harus dihindari pemakaian diuretik berlebihan sebab bisa menimbulkan keadaan curah jantung yang rendah. Azotemia akibat diuretik bisa ditemukan pada gagal jantung diastolik.

– Pemberian nitrat akan memperbaiki gejala namun pemberiannya harus hati-hati untuk menghindari

timbulnya hipotensi.

– Pemberian penyekat ACE dan antagonis reseptor angiotensin II memperbaiki volume sekuncup dan

menurunkan kebutuhan oksigen miokard. Dalam hal ini penyekat ACE dapat memperbaiki relaksasi dan distensibilitas jantung secara langsung dan mungkin mempunyai efek jangka panjang melalui kerjanya sebagai anti-hipertensi dan dapat meregresi hipertrofi dan fibrosis miokard.

– Pemberian beta-blokade dan antagonis kasium (verapamil) akan memperbaiki pengisian diastolik dengan memperlambat denyut jantung meskipun pemberiannya harus hati-hati pada gagal jantung diastolik yang berat. Kedua jenis obat ini menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri, juga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

– Pemberian dobutamine atau milrinone sebaiknya diberikan secara berhati-hati dan dengan pemantauan hemodinamik invasif oleh karena efek lusitropiknya.

– Fibrilasi atrium sangat mengganggu pada penderita dengan disfungsi diastolik dan sering memicu timbulnya dekompensasi. Konversi fibrilasi atrium ke ritme sinus dan mempertahankannya merupakan hal yang sangat penting.

    

BAB III

PEMBAHASAN

 

            Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP, hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan kelainan penderita akibat sistem pernapasan.  Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut penulis terhadap kasus dalam skenario.

            Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron).

            Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE) yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65 mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya. Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron. Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC (epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume intravaskuler.

            Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi. Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60. Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik. Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan  ion hidrogen [H+] merangsang kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.

            Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3 dalam darah dan terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2 dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32 kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol,  mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok.

 

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

 

A. Simpulan

1.      Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya. Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.

2.      Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.

 

B.  Saran

1.      Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan lemak, garam sera minuman alhokol,  mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan darah selain menggunakan terapi farmakologis.

2.      Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara teratur guna mengontrol tekanan darahnya.

 

 

 

 

 

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

 

 

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 1994. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : Binarupa Aksara. pp: 1- 404.

2. Kusumawidjaja. Patologi. Jakarta: FKUI 1996. pp: 110 – 16.

3. S. Silbernagl, F. Lang. 2007. Patofisiologi. Jakarta : EGC. pp:  176-249.

4. Joesoef, H. Andang; Setianti, Budhi. 2003. Hipertensi Sekunder. In: Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : FK UI.

5. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC.

6. Cutler, Jeffrey A., et al. . 2008. Trends in Hypertension Prevalence, Awareness, Treatment, and Control Rates in United States Adults Between 1988 1994 and 1999 2004. http://hyper.ahajournals.org/cgi/content/full/52/5/818.

7.  Hermawan, Guntur. 2008. BED SIDE TEACHING. Surakarta : Kesuma.

 

Ana pernah bertanya kepada Syaikh Sholeh As-Suhaimi setelah taklim ba’da subuh di masjid nabawi tentang membatasi kelahiran.

Beliau menjawab kurang lebih maknanya : “membatasi kandungan hanya dibolehkan karena dua sebab saja :

1. Menyempurnakan susuan (2 tahun)

2. Adanya madhorot kalau melahirkan dibuktikan taqrir dari dokter yang terpercaya. Selain dari dua itu ndak diperbolehkan” ini pendapat beliau

Kalau syaikh ‘Ubaid sewaktu di jogja menambahkan boleh juga menunda kelahiran beberapa tahun dalam rangka untuk mendidik anak jika istri sering melahirkan dengan jarak yang dekat. Tapi kata beliau ini hanya boleh dilakukan setelah kelahiran yang kedua karena sebelum kelahiran yang kedua kan kita belum tau apakah si istri termasuk kategori yang sering melahirkan dengan jarak dekat atau yang jarang melahirkan. (ada rekamannya tanya jawab dengan beliau)

Udah itu aja, ana hanya ingin menukilkan yang ana dengar secara makna. Untuk lebih detailnya silahkan lihat referensi yang lebih lengkap.

Bagi ibu hamil dengan miop tinggi, melahirkan bisa menjadi masalah yang serius. Retina mata yang berfungsi untuk menangkap cahaya bisa lepas dari posisi normal dari posisi normal (ablasio retina akibat tekanan yang tinggi saat mengejan dalam proses persalinan. Dan hal ini dapat mengakibatkan kebutaan.

Pada mata dengan myopia tinggi, sumbu bola mata lebih panjang dari pada mata normal. Bila myopia progresif bagian mata seperti sklera dan koroid akan bertambah panjang, namun vitreus tidak. Bagian retina ada yang menempel pada badan vitreus juga pada koroid. Maka retina akan tertarik ke arah koroid dan terjadi penarikan pada retina yang menempel di badan vitreus jika terjadi peningkatan tekanan saat melahirkan. Akibatnya retina gampang lepas sehingga terjadi kebutaan.
Memang belum ada penelitian yang memprediksi kemungkinan hal ini. Penelitian yang melibatkan 42 pasien miop tinggi dan 4 pasien miop tinggi dengan ablasio retina, tidak mengalami perburukan setelah melahirkan. Tapi, sebagiannya mengalami perdarahan retina dan pembekakan makula.

Nasehat :
1. periksakan mata ketika akan melahirkan. Jika retina terlalu tipis dan beresiko maka sectio caessarea merupakan pilihan yang aman.
2. pelajari dan latih pernafasan agar dapat mengejan dengan tepat. Jika tidak mungkin melahitkan dengan normal jangan dipaksakan.

ew York (ANTARA/Reuters Life!) – Pria cenderung akan bersikap lebih baik saat mereka menikah –hal itu terjadi karena pernikahan tampaknya membantu pria memperbaiki sikap mereka dan pria yang punya sikap lebih baik cenderung menjadikan pernikahan sebagai hal utama menurut penelitian di Amerika Serikat.

S. Alexandra Burt dan koleganya di Universitas Negeri Michigan juga menemukan bahwa pria yang kurang punya perilaku yang buruk cenderung akhirnya akan menikah.

Di antara pria-pria yang menikah beberapa menunjukkan bahwa tanda perilaku-perilaku buruk –terutama tindakan yang berhubungan dengan penyakit antisosial seperti perilaku kriminal, berbohong, agresif dan kurang punya belas kasihan– berkurang setelah mereka mengikat diri dalam pernikahan.

Burt mengatakan bahwa pria yang menikah “pada awalnya bukanlah seorang yang antisosial dan bahkan setelah mereka menikah sikap antisosial itu makin berkurang.”

Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam “Archives of General Psychiatry” edisi Desember, Burt dan koleganya meneliti 289 pasang pria kembar selama 12 tahun, sejak usia 17 hingga 29 tahun. Lebih dari separuhnya adalah kembar identik.

Pria yang menikah selama masa penelitian tersebut, sekitar 60 persen dari mereka menunjukkan sikap antisosial lebih sedikit pada usia 17 dan 20, menunjukkan bahwa pria dengan sikap seperti itu cenderung akan kurang menempatkan pernikahan di tempat utama.

Pada usia 29 tahun, pria yang tidak menikah memiliki rata-rata memiliki 1,3 sikap antisosial, dibanding dengan 0,8 di antara pria-pria yang menikah.

Namun, di antara kembar identik dengan satu orang menikah dan yang lain tidak menikah, pria yang menikah didapati memiliki sikap antisosial yang lebih sedikit dibanding kembarannya yang tidak menikah.

Dalam kasus kembar identik dengan gen dan suasana masa kecil yang sama sehingga cenderung untuk menghasilkan sikap antisosial yang sama, penelitian ini mengindikasikan bahwa pernikahan membantu untuk membuang perilaku buruk tersebut.

Namun masih belum jelas mengapa pria dapat memperbaiki kelakukan mereka setelah menikah, kata Ryan King dari Universitas Albany yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.

Pria yang menikah menghabiskan lebih banyak waktu dengan pasangannya dibanding dengan teman-temannya dan perilaku buruk seperti kejahatan dan minum minuman keras cenderung menjadi aktivitas kelompok, katanya.

Ditambah lagi, pria yang menikah “akan lebih banyak kehilangan” bila mereka tertangkap karena aktivitas ilegal dan lebih peduli terhadap apa yang dipikirkan oleh pasangannya.

“Tidak setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk menikah, namun mereka yang menikah mendapatkan manfaat dari pernikahan tersebut,” kata King.

Hasil penelitian itu membantu menjelaskan temuan dari penelitian lain yang menunjukkan bahwa pria yang menikah melakukan lebih sedikit tindakan kriminal. Penelitian baru-baru ini contohnya, menunjukkan bahwa pernikahan berhubungan dengan penurunan 35 persen tindakan kriminal.

Penelitian juga menemukan bahwa orang yang menikah cenderung lebih sehat dibanding masih saat masih sendiri, meski penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa keuntungan kesehatan karena pernikahan masih belum jelas. Namun mereka yang menikah cenderung hidup lebih lama, kurang mengalami depresi atau terkena penyakit jantung dan stroke.

 

Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan perkembangan penelitian sampai dengan uji klinik (Anonim, 2010)

Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.

  1. 1. Jamu (Empirical based herbal medicine)

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris (Anonim, 2010)

 

 

Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu (Anonim, 2010)

Obat Herbal Terstandar (OHT) / Scientific Based Herbal Medicine

  1. Pengertian

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi (BPOM, 2010).

Obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral.

Untuk mendapatkan OHT diperlukan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre klinik seperti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas maupun kronis (Anonim, 2009)

  1. Kriteria

1)      Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan

2)      Klaim khasiat dibuktikan secara alamiah/praklinik

3)      Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi (Humaidi, 2009)

  1. Logo

Logo pada Obat Herbal Terstandard harus mencantumlkan logo dan tulisa “ Obat Herbal Terstandar”. Tulisan “Obat Herbal Terstandar” harus jelas dan mudah dibaca. Logo berupa jari-jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran dan ditempatkan dibagian atas kiri wadah/pembungkus/brosur. Logo tersebut dicetak dengan warna hijau diatas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo (Anonim,2009)

Pada dasarnya produk herbal terbagi atas 3 jenis, yaitu jamu tradisional warisan nenek moyang, obat herbal yang dikembangkan berdasarkan referensi , jenis ke-2 yaitu herbal terstandar , produk herbal yang sudah sedikit lebih maju karena telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi , jenis ke-3 tingkatan produk herbal yang paling tinggi yaitu fitofarmaka. Khusus fitofarmaka yang bisa diresepkan oleh dokter, konsepnya tidak berbeda dengan obat modern karena merupakan obat yang berasal dari tanaman dan telah melalui proses pra uji klinis dan uji klinis.

Saat ini baru ada 5 produk fitofarmaka di Indonesia, semuanya mendapat serifikat di tahun 2005. Kelima produk fitofarmaka tersebut diproduksi oleh empat perusahaan farmasi Indonesia. Manfaatnya untuk mengatasi berbagai kondisi yaitu sebagai anti diare, mengatasi rematik, immunomodulator, mengatasi tekanan darah dan untuk meningkatkan vitalitas pria.

  1. 1. Nodiar® Kimia Farma

Tiap tablet Nodiar mengandung :

Attapulgite …………………….. 300 mg
Psidii Folium Extract ……… ……. 50 mg
Curcuma domestica Rhizoma Extract …. 7.5 mg

Indikasi : diare yang tidak spesifik

  1. 2. X-Gra ® Phapros

Tiap kapsul berisi:
Ekstrak Ganoderma lucidum 150 mg
Ekstrak Eurycomae radix 50 mg
Ekstrak Ginseng 30 mg
Ekstrak Retrofracti fructus 2,5 mg
Royal jelly 5 mg

Indikasi: Meningkatkan stamina dan kesegaran tubuh, membantu meningkatkan stamina pria, membantu mengatasi disfungsi ereksi dan ejakulasi dini.

  1. 3. Stimuno® Dexa Medica

Komposisi: Tiap 5 ml Stimuno Sirup mengandung ekstrak Phyllanthus niruri 25 mg. Tiap kapsul Stimuno mengandung Phyllanthus niruri 50 mg

Indikasi: Membantu memperbaiki dan meningkatkan daya tahan tubuh

  1. 4. Tensigard®Phapros

Komposisi tiap kapsul berisi:
Ekstrak Apii herba 92mg
Ekstrak Orthosiphon folium 28mg
Indikasi: Menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic

  1. 5. Rheumaneer® Nyonya Meneer

Komposisi:
Curcumae domesticae Rhizoma 95 mg
Zingiberis Rhizoma ekstrak 85 mg
Curcumae Rhizoma ekstrak 120 mg
Panduratae Rhizoma ekstrak 75 mg
Retrofracti Fructus ekstrak 125 mg
Indikasi: mebantu mengurangi  nyeri persendian.

 

Perbedaan mendasar antara obat herbal dengan fitofarmaka adalah adanya uji klinis dan uji lainnya yang harus dilalui. Semua berdasar klasifikasi produk herbal untuk obat dan makanan yang ditetapkan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Fitofarmaka, klasifikasi tertinggi dalam produk herbal harus sudah melalui uji klinis. Jadi, fitofarmaka terdiri daris atu atau dua herbal yang tidak boleh lebih dari lima, yang telah melalui syarat keamanan. Yaitu melaui uji toksisitas, uji klinis dan terstandarisasi serta terjamin mutunya sesuai aturan yang berlaku. Pengembangan fitofarmaka terus dilakukan, karena fitofarmaka potensial untuk pengobatan, juga dapat dieksport sebagai obat yang berasal dari Indonesia.

Lama uji klinis tergantung dari penyakitnya. Untuk produk immunomodulator, diuji untuk penyakit TBC. Yaitu bagaimana penambahan immunomodulator pada standar terapi itu mengurangi angka keparahan pasien atau mengurangi kemungkinan pasien menularkankuman TB ke orang yang sehat. Karena terapi TBC itu perlu waktu lama, maka uji klinis tersebut dikontrol selama minimal enam bulan. Sampai saat ini, Dexa Medica telah melakukan uji klinis STIMUNO sebanyak 15 kali, diuji pada sekitar 600 pasien untuk berbagai macam kasus, mulai dari TBC sampai dengan Herpes Zoster, Hepatitis dan infeksi HIV.

Produksi Fitofarmaka harus mengikuti kaidah Good Agricultural Practice (GAP) .Artinya, cara-cara produksi mulai dari penanaman, pemeliharaan panen tanaman, proses setelah panen, semuanya harus mengikuti standar internasional. Cara pembuatan produk obat herbal tradisional ini pun harus mengikuti kaidah Good Manufacturing Practice (GMP) . Sebagai contoh , adalah produk keluaran PT. Dexa Medica yang telah menerima sertifikat fitofarmaka dari BPOM untuk produk imunomodulator yaitu STIMUNO. Produk ini merupakan jenis fitofarmaka imunomodulator berbahan ekstrakPhyllanhus niruri atau meniran. Imunomodulator diperlukan ketika seseorang sedang dalam kondisi kelelahan, kurang istirahat, stres, bepergianjauh, kontak dengan penderita atau berada di tempat yang sedang terserang wabah.

Jika ada beberapa ekstraksi Phyllanthus ynag ditanam di tempat berbedadan proses penanamannya juga berbeda, belum tentu kliam imunomodulator-nya sama. Itulah sebabnya, fitofarmaka harus bersumber pada tanaman yang proses penanamannya baik , ditanam di tempat yang sudah terstandarisasi dan diproses secara GAP dan GMP, sehingga hasilnya pun baik bagi pengobatan penyakit.

Pemerintah sedang mengusahakan agar fitofarmaka bisa diresepkan dokter. Sehingga saat ini sedang berlangsung sosialisasi pada dokter-dokter dan masyarakat tentang fitofarmaka. Yang perlu diketahui masyarakat adalah jika produk herbal sudah terstandarisasi dan keamanan serta mutunya terjamin dan sudah diuji klini maka obat herbal ini disebut fitofarmaka.

Restu Maharany Arumningtyas

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Mengenal Penggolongan Obat (Bagian 3 – Tamat). http://www.ptphapros.co.id/ article.php?&m=Article&aid=19&lg=. Diakses tanggal 19 Oktober 2010.Bottom of

 

VIVAnews – Diet kaya lemak minyak kelapa bisa melindungi tubuh terhadap resistensi insulin. Sebuah studi baru-baru ini melakukan uji bagaimana diet asam lemak dalam minyak kelapa dapat meluruhkan lemak tubuh.

Obesitas dan resistensi insulin merupakan faktor utama yang mengarah pada pengembangan diabetes tipe 2. Resistensi insulin adalah gangguan kemampuan sel untuk merespons insulin.

Seperti dikutip laman Times of India, Nigel Turner dan Jiming Ye dari Sydney Garvan Institut Riset Medis mendalami metabolisme lemak dengan membandingkan hasil dari resistensi insulin pada tikus yang diberi minyak kelapa dan diet lemak berbasis babi .

“Asam lemak rantai menengah seperti yang ditemukan dalam minyak kelapa menarik bagi kami karena memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari lemak biasa yang sering ditemukan dalam makanan kita,” kata Turner selaku pemimpin studi.

Berbeda dari asam lemak rantai panjang yang terkandung dalam lemak hewan, asam lemak rantai menengah mudah masuk ke mitokondria, sel pusat kekuatan pembakaran. “Kondisi ini membuatnya bisa langsung bekerja dan terbakar menjadi energi.”

Namun, itu bukan tanpa efek samping. Diet asam lemak rantai menengah juga dapat menyebabkan terjadinya timbunan lemak di hati. “Fakta penting ini harus dipertimbangkan oleh siapapun yang hendak menggunakannya sebagai terapi penurunan berat badan.”

Penyimpanan lemak ditentukan oleh keseimbangan antara seberapa banyak lemak yang diambil oleh sel dan berapa banyak lemak ini dibakar untuk energi. Ketika orang makan diet lemak tinggi, tubuh mereka mencoba untuk mengkompensasi dengan meningkatkan kapasitas mereka untuk mengoksidasi lemak.

“Penderita obesitas biasanya mencerna 40-50 persen kalori sebagai lemak. Tikus percobaan kami juga diberi 45 persen lemak dari kalori yang mereka asup,” kata Turner. Temuan mereka sekarang telah diterbitkan di laman Jurnal Diabetes. (pet)