Oleh Sadewa Yudha
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindroma ovarium polikistik merupakan salah satu masalah endrokinologi reproduksi wanita yang sangat pelik. Semenjak diperkenalkan oleh Stein dan Leventhal pada tahun 1925-1935 sampai sekarang masih belum jelas benar penyebab utama yang menjadi pokok permasalahannya. Bilateral ovarium polikistik, oligomenore atau amenore, hirsutisme dan obesitas merupakan kumpulan gejala klinik yang dahulu dikenal sebagai sindrom Stein-Leventhal. Pada tahun 1964 Stein berhasil mendapatkan kembali fungsi reproduksi normal pada wanita setelah melakukan reseksi baji pada kedua ovarium. Semenjak itu diyakini bahwa kumpulan gejala klinik diatas disebabkan karena adanya kelainan pada ovarium dan untuk selanjutnya kelainan ini banyak disebut sebagai penyakit ovarium polikistik. Namun, pada kenyataannya dalam gejala klinik mempunyai variasu yang cukup banyak sehingga kelainan ini disebut sindroma polikistik ovarium (Polycystic Ovary Syndrome /PCOs). (Samsulhadi, 1999)
Kelainnan ini bila dilihat dari diagnosa USG dijumpai cukup banyak yaitu 25% pada wanita dewasa. Oleh karena itu, pengetahuan yang mendalam tentang penyakit ini sangat diperlukan oleh mahasiswa pendidikan dokter.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah sindrom polikistik ovarium (PCOS)?
2. Apakah penyebab PCOS?
3. Apakah gejala dan tanda PCOS?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui sindrom polikistik ovarium (PCOS)
2. Mengetahui penyebab PCOS.
3. Mengetahui gejala dan tanda PCOS.

D. Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran mahasiswa untuk mencapai sasaran pembelajaran yang sudah ditetapkan dan sebagai tolak ukur tercapaiannya sasaran pembelajaran tersebut.

E. Hipotesis
Pasien mengalami anovulasi yang pada akhirnya menyebabkan infertilitas karena ketidaseimbangan hormon steroid dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom polikistik ovarium adalah kumpulan gejala klinis dihubungkan dengan ovarium polikistik dan ditandai dengan oligomenore atau amenore, anovulasi (menyebabkan infertilitas) dan hirsutisme. Terdapat baik hiperestrogenisme (konversi dari androgen perifer) maupun hiperandrogenisme. Disebut juga kista atau sindrom Stein-Leventhal. (Dorland, 2002)
Penyebab PCOS sampai sekarang masih belum diketahui. Namun, sindrom ini dikaitkan dengan kelainan biokimiawi berupa hiperandrogenisme, kadar LH yang tinggi dan kadar FSH yang rendah (Crum dkk, 2007). Obesitas merupakan salah satu faktor predisposisi PCOS. Obesitas identik dengan resistensi insulin yang akan mengakibatkan hiperinsulinemia (Fauci dkk, 2008). PCOS menyerang perempuan usia produktif.
Ovarium biasanya berukuran dua kali dibandingkan normal, tampak putih abu-abu dengan korteks luar licin dan dipenuhi oleh kista-kista subkorteks bergaris tengah 0,5 hingga 1,5 cm. Terdapat 12 atau lebih folikel, dan volume ovarium meningkat lebih 10 ml. Secara histologis, terjadi penebalan tunika fibrosa yang terkadang disebut sebagai fibroma stroma korteks, di bawahnya terletak kista yang dilapisi oleh sel granulosa dengan hipertrofi dan hiperplasia teka interna yang mengalami luteinisasi. Korpus luteum tidak ditemukan. (Crum dkk, 2007 ; Fortner dan Lipari, 2007)
Adanya kelainan hormon akan menimbulkan gejala dan tanda. Gejala tersebut adalah amnorea atau oligomenorea, hirsutisme, obesitas, nyeri pelvis, jerawat (Gardner dan Shoback, 2007). Sedangkan, tanda yang tampak adalah hiperinsulinemia, hiperestrenisme, hiperandrogenemia, peningkatan kadar testosteron, dehidroepiandrosteron sulfat, rasio LH/FSH, dan penurunan SHBG (sex hormone binding protein) di hepar, peningkatan kolesterol dan glukosa darah (Gardner dan Shoback, 2007 ; Fauci dkk, 2008). Setelah diketahui gejala dan tanda, maka dilakukan penegakkan diagnosis. Oleh karena itu, dibuat konsensus oleh National Institutes of Health-National Institute for Child and Human Development (NIH-NICHD) tahun 1990 untuk kriteria penegakkan diagnosis (Gardner dan Shoback, 2007) :
1. Anovulasi kronik.
2. Gejala klinikal dan/atau biokimia hiperandrogenisme dan menyingkirkan etiologi lain.
Seseorang didiagnosis jika terdapat satu atau dua dari kriteria di atas.
Tahun 2003, terjadi revisi dalam kriteria diagnosis tersebut. Hal tersebut disponsori oleh ESHRE/ASRM di Rotterdam. Kriteria tersebut sebagadi berikut (Gardner dan Shoback, 2007):
1. Oligomenore atau amenore yang disertai perdarahan anovulatorik.
2. Gejala klinik dan/atau biokimia hiperandrogenisme.
3. Ovarium polikistik dan etiologi lain disingkirkan (hiperplasia adrenal kongenital, tumor yang menyekresi androgen, sindrom Cushing).
Diagnosis ditegakkan jika terdapat dua atau tiga kriteria di atas. Namun, tidak semua penderita menampakkan gambaran ovarium polikistik.
Berikut ini merupakan algoritmanya.

BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pasien seorang wanita 19 tahun belum menikah dengan obesitas dan amenore. PP tes negatif. Adanya data PP negatif berarti tidak adanya HCG. Pasien tidak hamil. Obesitas merupakan faktor predisposes utama dari PCOS, dan amnore termasuk salah satu kriteria diagnosis PCOS menurut consensus di Rotterdam.
Jika pasien ini menderita PCOS, lebih dari 75% penderita PCOS berakhir dengan infertilitas yang diawali siklus anovulatoris. Salah satu karakteristik adanya kelainan kadar LH. Menurut beberapa penelitan, terjadi peningkatan frkuensi, amplitudo, dan level LH. Peningkatan LH mungkin hasil dari hiperresponsif hipofisis dan hiperaktivitas GnRH hipotalamus. Pada keadaan normal, folikel merespon LH setelah berdiameter 10mm. Pada PCOS, folikel yang kecil mendapat respon yang besar dari LH, yang mana tidak seharusnya mengakhiri diferensiasi sel granulosa dan hasilnya gangguan perkemabngan folikel. Sel teka meningkatkan ekspresi enzim steroid karena stimulasi LH, mengingat sel granulosa memperlihatkan resistensi FSH. Peningkatan kadar LH dan hiperinsulinemia mengakibatkan gangguan folikelgenesis. Meskipun hiperandrogenisme termasuk kriteria diagnostik, tidak ada bukti jelas berakibat langsung terhadap folikelgenesis. Adanya kadar estrogen yang tinggi bisa sebagai hasil umpan balik negatif untuk menghambat keluarnya FSH dan mencegah perkembangan folikel lebih lanjut. Estrogen ini dibentuk ekstraovarian. Kadarnya semakin tinggi sebagai akibat penurunan SHBG (sex hormon-binding protein) sehingga estrogen tidak bisa dibuang dari tubuh.
Adanya androgen yang tinggi pada perempuan merupakan keabnormalan. Androgen di dalam ovarium diproduksi oleh sel teka interstitial yang mengelilingi folikel dan sebagian kecil di stroma. Pada keadaan normal, androgen yang berlebih yang dihasilkan oleh sel teka akan dimasukkan ke sel granulosa untuk dirubah menjadi estrogen. Produksi androgen dalam ovarium diatur oleh faktor intraovarian dan hormon. Disregulasi ini terdapat pada pasien PCOS.
Beberapa penelitian menyatakan kelebihan androgen akan menstimulasi beberapa hormon dan enzim lain. Androgen akan menstimulasi antara lain 17-dihidroksiprogesteron, dan androstenedion. Penelitian lain ekspresi ini dikoding di gen CYP17α hidroksilase, P450scc, reseptor LH dan StAR. Oleh karena itu, ada yang beranggapan PCOS juga diturunkan. Namun yang jelas adalah hal-hal tersebut akan menyebabkan hipertrofi sel teka.
Penelitian yang lain juga mnyebutkan peningkatan modulator intraovarium berperan dalam pathogenesis PCOS. IGF binding proteins (IGFBPs) terutama IGFBP-2 dan IGFBP-4, meningkat pada PCOS. Hal ini terjadi karena menurunnya IGF-2 bebas dan karena menurunnya efek FSH pada oosit dan sel granulosa. Sel granulosa di bawah regulasi reseptor insulin sebagai hasil hiperinsulinemia. Hal ini akan mengurangi sel granulosa, IGF-2, dan mengurangi sensitivitas FSH. Dengan kata lan, IGF-2 bebas akan turun, IGFBP-2 meningkat disertai penurunan sel granulosa dan sensitivitas FSH. FSH yang tersupresi diperparah oleh peningkatan inhibin. Modulator intraovarian diatur oleh follistatin. Follistatin merupakan activin binding protein yang berfungsi menghambat produksi androgen dan meningkatkan sensitivitas FSH. Adanya inhibin menurunkan peran follistatin.
Dari penjelasan di atas anovulasi disebabkan oleh :
1. Kadar LH yang tinggi terus menerus.
2. Gangguan folikelgenesis akibat dari kurangnya sensitivitas FSH atau kadar FSH yang rendah.
3. Berkurangnya SHBG akibat hiperinsulinemia meningkatkan estrogen.
4. Kadar estrogen yang tinggi menyebabkan penghambatan perkembangan folikel.
5. Kadar androgen yang tinggi mengganggu regulasi dari faktor intraovarium.
6. Kadar androgen yang tinggi juga menyebabkan hipertrofi sel teka sebagai penghasil bentuk aktif androgen.
7. Hiperinsulinemia menurunkan IGF-2 bebas dan sel granulosa sehingga mengurangi sensitivitas FSH.
8. Kadar inhibin meningkat menyebabkan kadar follistatin menurun.
(Gardner dan Shoback, 2007)

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Pasien dimungkinkan menderita PCOS. Tujuh puluh lima persen penderita PCOS akan mengalami anovulasi dan bisa menyebabkan infertilitas. Mekanisme anovulasi ini sangat kompleks. Hal-hal yang terlibat adalah modulator intraovarium dan hormon baik hormon gonadotropin dan hormon steroid.

B. Saran
Pasien disarankan menjalankan prosedur penegakkan diagnosis lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Crum, CP dkk. 2007. Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara. Dalam : Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2. Editor : Kumar, V., Cotran, RS., Robbins, SL. Alih Bahasa : Brahm UP. Editor Edisi Indonesia : Huriawati hartanto dkk. Jakarta : EGC. hlm 777
Dorland, WA. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa : Huriawati Hartanto dkk. Editor Edisi Indonesia : Huriawati Hartanto dkk. Jakarta : EGC. hlm 2146
Fauci, AS dkk (Ed.). 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. McGraw-Hill Companies
Fortner, KB dan Lipari, CW. 2007. Hyperandrogenism. Dalam : Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics 3rd Edition. Editor : Fortner, KB dkk. Lippincott Williams & Wilkins. hlm 430-433
Gardner, DG dan Shoback, D (Ed.). 2007. Greenspan’s Basic and Clinical Endocrinology 8th Edition. McGraw Hill.
Samsulhadi. 1999. Ovarium Polikistik dan Permasalahannya dalam Majalah Obstetri Ginekologi.